65 - BAU SPIRIT, BAU SEMANGAT, BAU MINYAK ANGIN
Pagi berikutnya, suara ayam tetangga yang selalu sok rajin
membangunkan satu gang mulai berkokok. Ironisnya, ayam itu biasanya berkokok
jam enam lewat—tapi entah kenapa hari itu jam empat lebih sedikit dia sudah
mulai show.
Aku membuka mata perlahan. Wulan masih terlelap memeluk bantal
guling seolah itu pelampiasan dari rasa capek semalam setelah berjam-jam
mendampingiku menyusun rencana BCC.
Aku bangun perlahan, mengambil wudu, dan melaksanakan tahajud.
Tidak panjang, tidak muluk-muluk, hanya dua rakaat dan satu sujud yang lebih
lama dari biasanya. Dalam sujud itu aku berbisik pelan:
“Ya Allah… kalau Engkau berkehendak, izinkan hamba membuktikan
bahwa kegagalan bukan akhir. Jadikan ujian ini jalan pulang ke-Mu.”
“Waduh, tanda-tanda penuaan datang berani sekali ya…” pikirku.
Jam enam, Wulan bangun sambil mengucek mata.
Wulan memelukku dari belakang. “Ayah bau minyak angin.”
Aku tertawa. “Itu tandanya semangat.”
Pagi itu kami duduk di meja kecil dekat dapur—meja yang kalau
digeser sedikit bakal bunyi krek krek seperti robot tua. Wulan
menyiapkan roti bakar seadanya, sementara aku membuka laptop dan buku catatan.
“Ayah… sudah nyusun apa hari ini?” Wulan menatapku dengan mata
penasaran dan, mungkin, sedikit kecemasan.
Aku membalik catatan dengan dramatis.
Wulan menyipit. “Hmm… tulisan dokter mana ini?”
Aku memutar bola mata. “Ini strategi marketing, Lan.”
“Kalau lihat tulisannya, kelihatan lebih seperti peta tempat
persembunyian harta karun.”
Aku menekan bibir menahan tawa. “Ya Allah… istriku ini.”
“Calon istri,” koreksinya sambil tersenyum kecil.
Aku mendekat, mencubit pipinya pelan. “Calon istri yang ayahnya
udah manis banget kalau godain Ayah pagi-pagi.”
Wulan mendengus. “Bukan godain… mengingatkan.”
“Kita mulai dari konsep perjalanan cruise pasca-pandemi. Market
Bali bakal berubah. Orang bakal cari pengalaman eksklusif tapi aman. Ayah mau
siapkan paket early bird, kerja sama sama operator kapal, dan…”
“Ayah sudah hubungi orang-orang Ayah dulu?” tanya Wulan cepat.
Aku menatapnya sebentar, lalu menghela napas panjang.
“Kadang Ayah malu, Lan…”
“Karena?”
“Karena dulu Ayah sudah sampai titik tertentu. Lalu jatuh.
Sekarang harus mulai lagi dari bawah.”
Aku menggeleng pelan.
Lalu aku tertawa kecil. “Iya juga ya…”
“Baik. Hari ini Ayah mulai hubungi orang-orang lama.”
Wulan tersenyum lebar. “Gitu dong.”
Aku spontan tertawa. “No! Nanti Ayah nggak punya reputasi.”
Jam sembilan pagi, aku mulai kirim pesan ke beberapa teman
lama—mantan rekan, klien, kenalan perhotelan, dan orang-orang yang dulu sempat
bersama membangun mimpi.
Wulan memperhatikan dari jauh.
Aku menghela napas. “Ayah cuma takut dianggap gagal.”
Wulan tersenyum lembut. “Ayah… justru orang-orang yang pernah
gagal biasanya yang paling tangguh. Orang yang tidak pernah jatuh, tidak pernah
tahu bagaimana rasanya bangkit.”
Dan satu pesan balasan masuk.
Lalu dua.
Lalu tiga.
Aku mengangguk kecil sambil menelan perasaan haru yang tiba-tiba
naik ke tenggorokan.
Hari itu adalah hari pertama sejak pandemi aku benar-benar merasa
aku… hidup lagi.
Menjelang malam, setelah aktivitas seharian, aku duduk di ruang
tamu sambil menata kembali strategi, mencatat peluang, menghitung angka,
menulis ulang visi BCC. Wulan bersandar di bahuku, terdiam, sesekali mengusap
lengan Ayah sambil berkata:
“Ayah pasti bisa… Ayah bukan mulai dari nol. Ayah mulai dari
pengalaman.”
Malam itu, sebelum tidur, aku berbisik pada diri sendiri: