NEW NUCKY 2026 The Winner Takes It All
Tahun 2025.
Kalau hidup ini buku, maka tahun ini adalah bab yang paling tebal, paling berat dibuka, tapi juga paling jujur mengajarkanku tentang arti menjadi manusia.
Aku menyebutnya tahun pembelajaran yang luar biasa. Bahkan tanpa ragu, ini tahun tersulit dalam hidupku. Namun anehnya—dan ini baru kusadari belakangan—justru di tahun inilah aku menemukan versi terbaik dari diriku. Bukan versi yang kaya, bukan versi yang disanjung, bukan versi yang duduk di kursi kelas satu sambil menyeruput kopi mahal. Tapi versi manusia yang benar-benar manusia.
Aku pernah ada di atas. Pernah dikenal. Pernah menikmati fasilitas yang membuat orang lain berkata, “Wah, hidupmu enak ya.”
Iya, enak. Tapi rupanya hidup tidak pernah menjanjikan keabadian untuk kenyamanan.
Bisnis dan ekonomi yang kubangun dengan keringat dan mimpi, hancur lebur tak bersisa. Seperti istana pasir disapu ombak.
Keluargaku pun retak—bukan karena benci, tapi karena miskomunikasi yang begitu rumit hingga kata-kata pun menyerah menjelaskannya.
Dan di tengah semua itu, aku sakit. Stroke.
Sebuah kata yang biasanya terdengar jauh, tiba-tiba duduk di sampingku, menetap, dan mengubah segalanya.
Aku melewati hari-hari itu sendirian.
Sendiri dalam ramai. Sendiri dalam doa. Sendiri dalam rasa takut yang tak selalu bisa diceritakan.
Aku pulang ke Bali dengan niat mulia: mengabdi pada Papa dan Mama.
Tapi Allah membalikkan peranku.
Justru merekalah yang setia merawatku—dengan sabar, dengan cinta, dengan doa yang tak pernah putus.
Saat itu aku hanya bisa beristighfar pelan,
اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ
(Astaghfirullāhal ‘azhīm — Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung)
Inilah titik terendah semangat hidupku.
Titik di mana aku tak lagi punya apa-apa untuk dibanggakan… kecuali satu hal: aku masih bertahan.
Dan di titik itulah aku membuktikan satu kebenaran besar:
rencana Allah selalu lebih baik, meski sering terasa menyakitkan di awal.
Allah berfirman:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
(Wa ‘asā an takrahū shai’an wa huwa khairul lakum)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ajaibnya, justru saat aku jatuh, Allah mendekatkanku pada circle terbaik dalam hidupku.
Lingkaran manusia yang tidak menilai dari status, tapi dari niat.
Tidak bertanya, “Kamu siapa?” tapi “Apa yang bisa kita kerjakan bersama?”
Amanah demi amanah diletakkan di pundakku:
Ayah Sehat Mama Bahagia.
Babe Ngopling.
Muhammadiyah.
Ukhuwah masjid dan musholla.
Baznas.
Taklim Liqo.
Pengurus Yayasan Masjid.
ICMI.
Aku sempat tertawa kecil sambil berkata dalam hati,
“Ya Allah… aku ini baru sembuh, tapi kok Kau percayai sebanyak ini?”
Lalu aku ingat sebuah hadits:
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا اسْتَعْمَلَهُ
(Idzā aḥabballāhu ‘abdan ista‘malah)
Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menggunakannya (dalam kebaikan).
(HR. Ahmad)
Dan puncaknya—yang bahkan dulu hanya berani kuimpikan dalam doa—aku berhasil menuangkan perjalanan hidupku ke dalam tulisan.
Blog Nucky yang berisi ide dan pandanganku.
Instagram Nucky Rahadhian dan Facebook Rahadhian Nucky yang bukan lagi tentang pencitraan, tapi tentang makna.
Dan sebuah buku yang sudah lama kudamba:
Hampir 80 chapter.
Sekitar 500 halaman.
Isinya bukan tentang kehebatan, tapi tentang kejujuran.
Tentang hidup yang penuh warna.
Tentang masa kecil hingga dewasa.
Tentang cinta dan kehilangan.
Tentang luka yang ternyata adalah guru paling setia.
Bahwa setiap pengalaman—manis maupun getir—adalah mozaik kehidupan yang indah jika dijalani dengan rendah hati, ikhlas, dan penuh syukur.
Allah berjanji:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
(La’in syakartum la’azīdannakum)
Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmatmu.
(QS. Ibrahim: 7)
Kini aku menatap 2026 dengan versi baru diriku.
New Nucky.
Bukan yang paling hebat.
Bukan yang paling sempurna.
Tapi yang paling siap.
Untuk para pembenciku—maafkan aku ya.
Aku belum sempurna, tapi aku masih kuat.
Bahkan lebih kuat dari yang pernah ada.
Aku siap menatap takdir Allah, apa pun bentuknya.
Karena kini aku tahu: kalah bukan akhir, jatuh bukan aib, dan sakit bukan hukuman—sering kali itu undangan untuk pulang.
Seperti lagu lama yang tiba-tiba terasa relevan:
The Winner Takes It All…
Dan kini aku paham—pemenang sejati bukan yang menang segalanya, tapi yang tetap bersyukur meski kehilangan hampir semuanya.
Terima kasih ya Allah,
atas pelajaran yang luar biasa ini.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
(Al-ḥamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn)
Alhamdulillah… sampai juga di titik ini.