76 - BADAI YANG DATANG TANPA PERMISI, DAN HATI YANG BELAJAR BERPEGANGAN

 




Badai itu memang datang tanpa permisi.
Nggak pakai salam. Nggak minta izin. Nggak nanya, “Mas, lagi siap nggak?”
Tahu-tahu… BRAK!
Hidupku jungkir balik.

18 Desember 2024.
Tanggal yang sekarang tertanam di kepalaku, lebih kuat dari tanggal gajian.

Malam itu sebenarnya malam biasa. Aku masih duduk di depan laptop, ditemani kopi yang entah sudah dingin atau aku yang sudah terlalu kebas buat peduli. Laporan belum kelar, chat masih masuk, pikiran loncat ke mana-mana. Jam di pojok layar sudah hampir nunjuk angka sepuluh malam.

“Bentar rebahan ah,” kataku ke diri sendiri.
Bentar doang. Sumpah.
Ternyata kebablasan… tidur pules.

Sekitar jam dua dini hari, mataku terbuka.
Biasanya jam segitu aku memang sering bangun buat tahajud. Tapi kali ini rasanya beda. Aneh. Sunyi. Berat.

Aku sadar. Seratus persen sadar.
Tapi tubuhku… nggak nurut.

Aku coba gerakin tangan. Nggak bisa.
Kaki? Jangan harap.
Mau bangun? Kayak disemen dari ujung kepala sampai tumit.

“Lah… ini kenapa?”
Dalam hati mulai panik.

Refleks, pikiran langsung ke mana-mana.
“Ini ketindihan?”
“Atau… jangan-jangan gangguan jin?”

Otak langsung nyetel mode darurat. Ayat-ayat Al-Qur’an yang masih hafal langsung keluar, meski lidah rasanya berat. Aku baca semampuku, lirih, terbata, sambil nahan panik.

Beberapa detik—atau menit, entah—akhirnya aku bisa duduk. Nafasku ngos-ngosan kayak orang habis dikejar anjing kampung. Aku diem sebentar, nenangin diri.

“Oke… mungkin cuma kecapekan,” aku mencoba berdamai dengan logika.

Aku berdiri. Pelan. Kaki menapak lantai.

Dan…
BRUUK!

Tubuhku jatuh tanpa aba-aba. Nggak ada drama slow motion. Nggak ada kesempatan mikir. Langsung ambruk, lunglai, tak berdaya.

Panik? Jangan ditanya.
Takut? Sudah pasti.

Yang bisa kulakukan cuma satu hal paling primitif: manggil orang tua.

“Paa…
Maaa…!”

Suara itu keluar dari mulutku entah dengan nada apa. Setengah teriakan, setengah tangisan.

Papa dan Mama datang berlari. Wajah mereka pucat. Panik. Kaget.
“Nuck! Astaghfirullah… kenapa, Nak?!”
Aku cuma bisa menatap mereka, mencoba bicara, tapi tubuhku seperti bukan milikku lagi.

Tetangga kami, Pak Jaka, dengar keributan. Tanpa banyak tanya, beliau langsung bantu. Dalam kondisi setengah sadar, aku dibopong, dimasukkan ke mobil, dan meluncur ke UGD RS Bali Jimbaran.

Lampu rumah sakit putih. Terlalu terang.
Bau antiseptik.
Suara langkah cepat.
Dokter. Perawat. Alat-alat.

Aku cuma bisa menatap langit-langit. Dalam hati, doa-doa pendek berhamburan. Nggak rapi. Nggak puitis. Tapi jujur.

Sampai akhirnya dokter bicara dengan nada yang… tenang tapi berat.

“Pak Nucky, ini serangan stroke.”

Kata itu jatuh pelan… tapi rasanya kayak palu godam.
Stroke.

Aku bengong.
“Dok… saya… bercanda kan?”
Nggak lucu memang. Tapi otakku butuh waktu buat nerima.

Siang itu juga aku dirujuk ke RS Sanglah. Masuk UGD lagi. Pemeriksaan lagi. Sampai akhirnya aku ditempatkan di HCU—High Care Unit.

HCU.
Ruang sunyi dengan suara mesin beep… beep…
Ruang di mana ego manusia dilucuti habis-habisan.

Aku terbaring.
Nggak bisa ngapa-ngapain.
Nggak bisa sok kuat.
Nggak bisa pura-pura baik-baik saja.

Di situ aku ngerasa… kecil.
Kecil banget.

Pikiran mulai liar.
“Ini antara hidup dan mati ya, Allah?”
“Kalau ini akhir… aku sudah cukup belum?”

Air mata keluar tanpa suara. Aku nangis diam-diam. Bukan cuma karena sakit, tapi karena takut. Karena kehilangan kendali. Karena semua rencana hidup tiba-tiba jadi tanda tanya besar.

Depresi datang. Emosi naik turun. Kadang pengen marah. Kadang pengen pasrah. Kadang pengen tidur dan bangun-bangun semua ini cuma mimpi.

Tapi Allah… luar biasa baik.

Papa dan Mama setia di sampingku. Nggak pernah ninggalin.
Teman-teman datang. Dari SD, SMP, SMA, kuliah.
Kolega. Sahabat komunitas. Ustadz-ustadz.
Doa datang dari segala arah.

Aku sadar satu hal:
Aku nggak sendirian.

Di ranjang HCU itu, aku berdoa panjang. Nggak pakai bahasa tinggi. Nggak pakai kalimat indah. Cuma dari hati.

“Ya Allah…
kalau Engkau masih beri aku waktu, aku janji mau lebih bener hidupnya.
Aku masih mau berbakti sama Papa Mama.
Aku masih mau nemenin anak-anakku sampai mereka besar.
Jangan ambil aku sekarang, ya Allah…
Jadikan sakit ini penghapus dosa, bukan penutup cerita.”

Dua minggu aku di RS Sanglah.
Dua minggu yang rasanya kayak sekolah kehidupan tingkat lanjut.

Aku akhirnya tahu penyebabnya.
Tensi pernah nyentuh 220 mmHg.
Gula darah 360 mg/dL.

Kebangetan?
Iya.
Bodoh?
Mungkin.

Aku mulai disiplin. Makan dijaga. Obat diminum tepat waktu. Nggak ada lagi sok jagoan. Dua minggu kemudian, angka-angka itu mulai turun. Normal.

Tanggal 5 Januari 2025, aku diizinkan pulang.

Rasanya?
Kayak dapet bonus hidup dari Allah.

Di rumah, hidup dimulai dari nol.
Bangun dari duduk aja rasanya kayak ikut lomba.
Pegang sendok pun kadang bikin emosi.

Tapi aku tahu, kalau aku kasihan sama diri sendiri terus, aku bakal kalah.

Aku belajar dengerin tubuh.
Capek ya istirahat.
Kuat dikit ya latihan.

Dan tiap malam… aku ngobrol sama Allah.
Sholat malam. Sholat taubat. Tahajud.
Kadang sambil nangis. Kadang sambil senyum sendiri.

Di situlah aku nemu satu konsep sederhana: “What If.”

Dulu, What if bikin aku takut.
“What if aku nggak sembuh?”
“What if aku jadi beban?”
“What if semua mimpi berhenti?”

Sekarang aku balikkan.
“What if aku bangkit lebih kuat?”
“What if ini jalan Allah buat dekatin aku ke-Nya?”
“What if kisah ini bisa jadi pegangan buat orang lain?”

Aku sadar, stroke bukan cuma soal tubuh.
Ini ujian hati.

Kalau hati rapuh, tubuh ikut nyerah.
Kalau hati kuat, tubuh akan ikut berjuang.

Dan di titik itu aku paham…
Badai memang datang tanpa permisi.
Tapi dia datang bukan buat menghancurkan.
Dia datang buat ngingetin:
bahwa manusia itu rapuh,
dan Allah… Maha Menopang.

Dan aku?
Masih belajar berdiri.
Masih belajar berjalan.
Tapi sekarang…
aku berjalan dengan hati yang lebih sadar.




Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN