59 - MULAI DARI APA YANG ADA DI TANGANMU
Menjejak Langkah Baru: Dari Sebuah Niat Kecil
“Mulai dari apa yang ada di tanganmu.”
Kalimat itu pertama kali keluar begitu saja dari bibirku saat
memulai rapat besar bersama tim, tapi entah kenapa kata-kata tersebut seperti
menabrak diriku sendiri. Seolah aku sedang menasihati cermin.
Banyak orang menunggu modal besar, menunggu tempat paling
strategis, menunggu kesempatan yang ‘wah’. Padahal Nabi Muhammad SAW memulai
dari menggembala kambing—setenang itu, sesederhana itu. Tak glamor, tak sorotan
kamera, tapi penuh makna, penuh kerja keras, penuh ketulusan.
Itu sebabnya aku menatap tim di hadapanku sambil tersenyum tipis,
“Kalau kita hari ini cuma punya tim yang solid… ya kita mulai dari itu. Kalau
punya gerai yang belum optimal… ya kita perkuat dari sana. Jangan nunggu
sempurna baru melangkah. Sempurna itu biasanya datang belakangan—kalau kita
sudah babak belur duluan.”
Tawa pecah pelan.
Begitulah caranya melelehkan tembok stres: humor receh.
Tapi dari situlah perjalanan besar itu dimulai—perjalanan
repositioning Black Canyon Coffee Indonesia, yang akhirnya akrab kami
panggil “BCC”.
Sebuah perjalanan yang ternyata bukan hanya mengubah brand, tapi
juga mengubahku.
Positioning yang Mengubah Segalanya
Kami sadar satu hal penting: dunia sudah berubah. Orang tidak lagi
datang ke tempat makan hanya untuk makan. Mereka mencari ruang—ruang untuk
bicara, bertemu, berpikir, bahkan menangis.
Dan dari situlah lahir positioning paling berani yang pernah kami
buat:
Untuk internal, kami memilih kata sakti:
COMPANIONSHIP.
Kami ingin setiap karyawan melayani bukan karena SOP, tapi karena
hati.
Roadshow Perubahan: Dari Surabaya Sampai Ujung Timur
Nusantara
Kalau film punya “world tour”, kami punya “gerai tour”.
“Brand ini hidup di tangan kalian.”
Kami mendatangi banyak kota, masing-masing punya rasa:
- Surabaya
– keras tapi tulus
- Semarang
– tenang namun dalam
- Yogyakarta
– lembut, filosofis, penuh hati
- Bandung
– kreatif, meledak-ledak
- Jakarta
– cepat dan tak pernah tidur
- Batam –
kosmopolit
- Palembang
– kaya cerita
- Jambi –
bersahaja
- Makassar
– kuat dan progresif
- Manado,
Palu – ramah dan hangat
- Bali –
magis, seperti doa yang menyala
Tapi Makassar… ah, Makassar.
Kota itu seperti cermin masa depan Indonesia: muda, berani,
berpikir cepat, penuh energi.
Malam Sunyi dan Doa yang Tak Pernah Mati
Setelah perjalanan panjang itu, aku pulang ke rumah sementara di
Bali. Angin laut malam menepuk pelan wajahku. Bintang-bintang Bali selalu
tampak lebih dekat, seperti bisa kucolek kalau aku berdiri di kursi.
Aku duduk di teras sambil menatap langit, dan bisikan doa itu
keluar begitu saja:
Aku menahan napas sejenak.
Kalau Allah yang memulai langkah, maka tak ada langkah yang
sia-sia.
Bcc Got Talent: Saat Semua Orang Melepas ‘Topeng
Jabatan’
Beberapa minggu setelahnya, di kantor pusat, ada kejutan.
Tim HR membuat acara bernama:
“BCC Got Talent – Because Friendship Matters.”
Dan kau tahu apa yang paling lucu?
Dunia… sungguh tidak siap melihat akuntan berjoget medley dangdut.
Aku tertawa sampai perut sakit.
- Accounting
akhirnya nongkrong bareng barista.
- Dua
supervisor yang dulu dingin—duet nyanyi “Kemesraan” sambil merangkul.
- Hierarki
buyar, keakraban tumbuh.
- “Companionship”
hidup, bukan sekadar slogan.
Semarang: Dari Canggung ke Hangat
Semarang menjadi kunjungan penting setelah success story di
Surabaya.
Aku membuka dengan guyonan:
“Teman-teman, jangan tegang ya, hari ini tidak ada yang saya PHK.
Tapi saya bisa PHK rasa lapar… setelah acara selesai kita makan bareng!”
Yogyakarta: Melayani dengan Hati yang Lembut
Yogya selalu punya cara memeluk jiwa.
Setibanya di Tugu, aku langsung merasa pulang.
Pertemuan dengan tim BCC Yogya dimulai dengan pertanyaan:
“Apa yang membuat Yogya berbeda?”
Mbak Ayu, pelan tapi pasti berkata:
“Semua di sini itu pakai hati, Pak.”
Aku dan Purwanto berpandangan.
Itu—itu dia jantung dari semua perubahan ini.
Di sela obrolan aku bertanya,
Aku tersenyum.
“Ya. Dan tuan rumah itu tidak pernah pura-pura ramah.”
Aku menulis catatan kecil:
Solo: Kota Halus yang Mengajarkan Kepemimpinan Sunyi
Malamnya kami dijamu kuliner: tengkleng Bu Edi, Selat Solo, hingga
serabi Notosuman.
Besoknya, di Keraton Kasunanan, sambil minum teh poci, aku
merenung:
Solo mengajarkanku bahwa kehangatan tidak perlu dipamerkan.
Menuju Kota Berikutnya…
Ketika kami berangkat kembali, aku membuka catatan kecilku:
Perjalanan belum selesai.
Tapi itu cerita untuk bab selanjutnya.
Karena hidup—seperti bisnis—adalah tentang memulai dari apa yang
ada di tanganmu.
Dan memberi makna sebanyak yang kau bisa.
lanjut baca klik link : 60 - BCC LAB : RUMAH BELAJAR, RUMAH PERUBAHAN